Potret Generasi Muda Muslim di Tengah Arus Digitalisasi Industri Musik

Potret Generasi Muda Muslim di Tengah Arus Digitalisasi Industri Musik

Oleh: Tri Wahyuningsih, S.Pi (Pegiat Literasi dan Media)

89,068
0

JAMBIIN.COM- Pasca pandemi industri hiburan kembali menggeliat. Industri hiburan populer terutama musik menemukan moment menarik pasar dan cuan dengan seabrek agenda konser yang memenuhi jadwal setahun belakangan. Pasar even pagelaran musik di Asia diperkirakan akan terus tumbuh hingga 3.27% sepanjang 2023-2027 yang diprediksi akan menghasilkan volume pasar hingga US$ 4.51 milyar (statista). Sebuah industri yang menjadi magnet luar biasa untuk mengeruk keuntungan. Sebagai salah satu pasar potensial, Indonesia tak ketinggalan menjadi negara bidikan utama. Animo generasi muda mengikuti konser musik terlihat sangat luar biasa. Promotor bermasalah, harga tiket yang melonjak, calo yang bertebaran, jeratan pinjol, belum lagi potensi sampah dan kerusuhan di beberapa daerah tak pernah memudarkan geliat para pemuja musik dan idolanya.

Animo generasi muda terhadap konser Coldplay yang akan digelar November mendatang contohnya, sebagaimana dilansir dari halaman Kompas.tv, akibat penjualan tiket yang terbuka pada bulan Mei ini di kabarkan salah satu penggemar Coldplay bernama Danar (31) rela menjual barang-barangnya demi bisa membeli tiket konser Coldplay yang paling mahal, yakni tiket Ultimate Experience seharga Rp11 juta (16/05/2023).

“Jual Kulkas merk GEA. 1,2 nego sampe jadi. Alasan jual buat beli tiket coldplay,’’ begitu tulis Danar di WhatsApp story-nya.

Tak sampai disitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut banyak netizen yang ingin menggunakan pinjaman online (Pinjol) sebagai jalan pintas untuk menonton konser Coldplay yang akan diadakan pada bulan November mendatang (Radar Kepahiang.id, 13/05/2023).

Ada juga yang menjadikan tiket Coldplay sebagai mahar karena dianggap hal yang berharga dan langka (infobekasi.co.id). Paling parahnya lagi, seorang perempuan asal Gorontalo tega menculik keponakannya demi mendapatkan uang tebusan untuk beli tiket konser (Haluan.com). Adanya konser Coldplay hingga K-Pop dengan pemuda hari ini yang notabenenya sering ikut-ikutan dengan tren-tren yang hype, mereka menghalalkan segala cara entah itu dengan melakukan buka uang tabungan, jual motor, gadai laptop, pinjaman online (pinjol), dengan alasan kapan lagi datang?" 

Hal ini sungguh ironi bahwa banyak pemuda muslim yang akhirnya krisis identitas, hanya sekadar mengikuti tren. Mirisnya semua fenomena ini tidak terlepas dari dukungan penuh pemerintah yang membangun berbagai infrastruktur untuk memfasilitasi industri ini, juga berbagai kebijakan yang dibuat untuk menjamin eksistensinya. 

Dalam pernyataannya pada peringatan Hari Musik Nasional yang jatuh pada 9 Maret lalu, Presiden Jokowi menegaskan pemerintah selalu mendukung perkembangan musik dalam negeri. Kepala Negara juga memastikan bahwa pemerintah siap mempermudah perizinan seluruh kegiatan di sektor ekonomi kreatif. Antara lain, konser musik, film, seni budaya hingga olahraga. “Tahun ini, konser-konser musik kembali digelar. Perizinan dimudahkan,” tulis Jokowi melalui akun twitter pribadinya. 

Digitalisasi Kapitalistik Merusak Identitas Generasi 

Bonus demografi yang Allah berikan untuk Indonesia hanya semakin menjadikan negeri ini sebagai sasaran empuk eksploitasi ideologi Kapitalisme. Gempuran pemikiran, peraturan dan gaya hidup telah membuat pemuda Muslim semakin jauh dari Islam. Semua ini mampu mencabut identitas Islam sampai perubahan lifestyle dan mental pemuda. Hari ini kita melihat pemuda Muslim semakin jauh dari identitas Islam. Potensi pemuda untuk membangun peradaban Islam telah dibajak  menjadi target pasar industri kapitalis. Bahkan di era digitalisasi nasib pemuda semakin memprihatinkan.

Digitalisasi dalam paradigma kapitalisme sangat rentan menyibukkan para pemuda untuk sekadar mengejar kepentingan materi hingga melupakan potensi hakiki mereka, yakni potensi intelektual sebagai generasi. Tata kelola yang serba kapitalistik hanya akan membajak potensi berharga pada diri pemuda. Pengarusan ide-ide sekuler dan liberal melalui digitalisasi pun sangat berpotensi mengikis—bahkan menghilangkan—identitas para pemuda muslim. Promosi ide-ide kebebasan dan gaya hidup hedonis begitu mudah kita dapati melalui arus digitalisasi.

Di sisi lain, invasi pemikiran dan budaya asing makin tidak terhindarkan, bahkan kerap dicitrakan sebagai tren yang menarik nan estetik. Gaya hidup permisif ala Barat, perilaku konsumtif yang berlebihan, ataupun transfer pemikiran liberal yang diusung oleh tokoh-tokoh influencer yang dikagumi para pemuda, menjadi hal yang tidak asing lagi dan begitu dekat dengan mereka. Sungguh, kondisi ini menjadikan para pemuda khususnya pemuda muslim berada dalam bahaya besar karena mengancam identitas keislaman mereka.

Melalui teknologi digital inilah, terjadi injeksi pemikiran sekuler, pornografi, kekerasan, penyimpangan seksual, gaya hidup individualis dan hedonis, dan bahkan apatis terhadap agama. Akibatnya, para pemuda muslim kehilangan profil Islam.

Para pemuda muslim menjadi sasaran semua produk pemikiran-pemikiran barat yang penuh dengan nilai kebebasan. Melalui dunia digital ide kebebasan, dari gaya hidup hedonisme, konsumerisme, apatis hingga bersikap antipati terhadap nilai dan norma agama sangat mudah sampai ke tengah para generasi muda.  Dalam sebuah studi oleh Goldman Sachs menemukan bahwa hampir setengah dari generasi muda terhubung secara daring selama 10 jam sehari atau lebih, terlebih saat pandemi selama kurang lebih dua tahun sehingga proses belajar mengajar dilakukan secara daring. 

Melalui gawai yang sebagian besar dimiliki pelajar, segala informasi apa pun juga begitu mudah diakses hanya dengan sentuhan jari, termasuk tersebarnya paham sekuler liberal melalui berbagai kemasan konten.

Durasi yang begitu lama saat bermedia sosial pun menjadikan generasi muda paling mudah terkena efek FOMO (Fear Of Missing Out). Cepatnya informasi yang tersampaikan dari laman sosial membuat generasi ini merasa tertinggal dengan teman-teman sebaya jika tidak mengikuti tren terbaru atau yang sedang viral dan menjadi FYP.

Efek FOMO ini tentu akan mudah memengaruhi generasi untuk mengikuti apa pun yang dilihatnya di media sosial. Tidak heran jika bak suntikan yang membius, media sosial di tangan generasi muda yang tidak memiliki filter agama akan membuat mereka bergaya hidup sekuler liberal, meski “casing“-nya adalah pemuda muslim.

Islam Mengarahkan Potensi Pemuda

Saat ini, jumlah pemuda di negeri muslim cukup banyak. Survei Global Muslim Travel Index (GMTI) 2022 menunjukkan tren peningkatan populasi penduduk usia muda. Mereka tersebar dalam beberapa generasi. Generasi (gen) Z (lahir 1996—2010) sebanyak 27,2%, milenial (lahir 1981—1995) sebanyak 22,9%, dan gen Alfa (lahir 2011—2025) sebanyak 21,5%. Ketiganya membentuk 1,46 miliar atau 70% penduduk muslim di dunia. (Kompas, 08/06/2022).

Melihat jumlah pemuda yang begitu besar ini, seharusnya berdampak positif bagi perkembangan dunia Islam sebab pemuda memiliki kekuatan besar. Para pemuda bertekad besar untuk mencari kebenaran. Mereka cenderung mempertahankan yang mereka pahami. Jika bicara masalah fisik, tubuhnya begitu energik. Walhasil, jika dua potensi ini dipadukan akan mampu menyumbang perubahan yang besar.

Maka dengan potensi pemuda yang begitu besar, perlu untuk mengarahkan mereka diarahkan kepada perubahan yang benar. Bagi pemuda muslim, kebenaran hanya ada pada Allah Taala. Sumber ilmu pengetahuan ada pada Al-Qur’an. Oleh karenanya, pemuda yang meletakkan keimanan di atas akal akan senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang lurus.

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al-Isra: 9)

Para pemuda masa kini perlu mencontoh para pendahulunya, yaitu pemuda generasi sahabat. Mereka memegang Islam dengan kuat, memperjuangkannya di tengah kaum kafir Quraisy tanpa ragu, hingga mengorbankan nyawa demi tegaknya din Islam. Ali bin Abi Thalib contohnya, seorang pemuda yang masuk Islam pada usia 7 tahun. Saat itu, ia mampu membedakan mana yang benar dan salah. Dengan kecerdasannya, ia selalu membantu Nabi saw. hingga berani menggantikan Nabi saw. saat rumah beliau dikepung tentara Quraisy.

Contoh lain adalah Umar bin Khaththab. Ia masuk Islam pada usia 27 tahun. Sebelumnya, ia menjadi orang nomor satu yang memusuhi Islam, tetapi setelah mendengar QS Thaha, hatinya bergetar dan akhirnya beriman. Semenjak saat itu, Umar mencintai Islam, bahkan menjadi orang terkuat dalam melawan kafir Quraisy. Tidak hanya itu, dengan kepribadian Umar, setan saja takut saat mendengar langkahnya.

Bisa dibayangkan, ketika para pemuda saat ini memahami Islam dengan benar, mereka bisa menjadi secerdas Ali bin Abi Thalib atau setangguh Umar bin Khaththab dan sahabat lainnya.

Oleh sebab itu, melihat potensi pemuda yang besar ini, penting sekali melakukan edukasi kepada para pemuda bahwa mereka adalah salah satu tumpuan agama. Mereka adalah muslim yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang masa mudanya dihabiskan untuk apa.

Meskipun saat ini kanalisasi dan propaganda peran pemuda dilakukan begitu rapi, tetapi kalam Ilahi tidak bisa terkalahkan oleh kalam konstitusi. Hanya dakwah Islam kafah yang mampu meluruskan para pemuda hingga mereka menyadari tugas utamanya sebagai makhluk Allah Taala.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.’?” (QS Fusilat: 33).(*)

 

 

 

 

 

 

 

Penulis:

Editor: