Caleg Perempuan: Berjuang Untuk Kesetaraan

Caleg Perempuan: Berjuang Untuk Kesetaraan

36,144
0

Oleh: Nur Kholik

Peraturan perundang-undangan yang mendukung representasi gender menciptakan peluang bagi caleg perempuan untuk menduduki kursi parlemen. Di samping itu, potensi besar partisipasi perempuan dalam politik didukung oleh populasi jumlah perempuan yang juga besar di Indonesia.

Dalam menangani isu-isu perempuan seperti kesetaraan gender, pendidikan, dan kesehatan, caleg perempuan mampu menjadi advokat dan pendorong kepentingan perempuan. Ini menjembatani aspirasi perempuan dengan proses pengambilan keputusan di parlemen.

Namun, yang menjadi persoalan adalah ketidakseimbangan antara jumlah perempuan dalam populasi dengan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen masih terlihat sangat mencolok.

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari website DPR RI, pada periodesasi 2019-2024, hanya terdapat 123 jumlah legislator perempuan dari 575 kursi anggota DPR RI atau sekitar 21,39 Persen. Dengan demikian keterwakilan perempuan di parlemen masih tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu 2019 yang ditetapkan KPU RI sebanyak 185.732.093 pemilih. Dari jumlah itu tercatat 92.802.671 pemilih laki-laki dan 92.929.422 pemilih perempuan.

Berdasarkan data diatas, akan sangat jelas tergambar bahwa representasi legislator perempuan di komisi dan badan-badan penting parlemen masih minim, suara mereka sering terabaikan. Kondisi tersebut akan berpotensi menghambat perwujudan agenda perempuan dalam kebijakan.

Ketidakseimbangan antara jumlah perempuan dalam populasi dan jumlah perempuan yang duduk di parlemen dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:

Stereotip gender yang seolah menjadi dogma dalam masyarakat, seringkali menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam ajang kontestasi elektoral.

Berpartisipasi dalam politik memerlukan sumber daya finansial yang signifikan, termasuk dana untuk kampanye dan dukungan infrastruktur.

Masyarakat yang didominasi oleh budaya patriarki seringkali cenderung memprioritaskan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, yang bisa menghambat aspirasi politik perempuan.

Dalam banyak kasus, masih ditemukan adanya ketidaksetaraan akses pendidikan bagi kaum perempuan. Jika perempuan memiliki akses pendidikan yang terbatas, mereka mungkin kurang mampu bersaing dalam politik.

Ketidaksetaraan kesempatan dalam dunia kerja dan bisnis dapat membuat perempuan kurang tertarik untuk memasuki dunia politik, karena mereka akan beranggapan bahwa berkarir di dunia politik  adalah pertaruhan antara peluang dan resiko.

Kendati demikian, peluang perempuan untuk memperkuat posisi kesetaraan dalam berkontribusi melalui kursi parlemen masih terbuka lebar, diantaranya dengan upaya sebagai berikut:

Peningkatan kapasitas pengetahuan dan pengalaman. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang baik, perempuan dapat menguasai isu-isu politik dan sosial sebagai modal untuk menjadi calon yang lebih kuat dan berpengaruh.

Terlibat dalam organisasi sosial dan kemasyarakatan yang memperjuangkan isu-isu perempuan dan kesetaraan gender.

Mencari mentor yang berpengalaman dalam politik atau mencari dukungan dari organisasi perempuan.

Mengikuti pelatihan dan kursus politik yang dapat membantu memahami secara lebih baik proses politik dan strategi kampanye yang efektif.

Mulailah karir secara berjenjang, baik eksekutif maupun legislatif, mulai dari tingkat lokal sampai ke tingkat nasional.

Dengan memanfaatkan peluang-peluang ini dan berkomitmen untuk berkontribusi dalam dunia politik, perempuan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam mencapai kesetaraan dalam kursi parlemen dan memengaruhi perubahan positif dalam kebijakan dan dinamika sosial. (Penulis adalah Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)

 

Penulis: Nur Kholik

Editor: Khotib Syarbini