Reformasi Skripsi

Bahren Nurdin

Reformasi Skripsi

34,195
0

 

Oleh: Bahren Nurdin

Pendidikan tinggi di Indonesia telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu hal yang sedang diperbincangkan belakangan ini adalah urgensi skripsi sebagai syarat kelulusan sarjana. 

Skripsi, sebuah karya penelitian akademis yang mahasiswa tuntaskan dan menjadi syarat mutlak dalam meraih gelar sarjana di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Namun, baru-baru ini, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengumumkan kebijakan baru yang menghilangkan kewajiban menulis skripsi untuk kelulusan program sarjana.

Kutipan dari Pasal 18 ayat (9) melansir dari Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjamin Mutu Pendidikan Tinggi: “Program studi pada program sarjana atau sarjana terapan memastikan ketercapaian kompetensi lulusan melalui: a. pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok; atau b. penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.”

Artinya, skripsi tinggal menjadi pilihan dari beberapa opsi yang ditawarkan. Dulu tidak ada pilihan. Mau jadi sarjana, ya wajib nulis skripsi. Reformasi!

Kebijakan ini tentu bukan tanpa kontroversi. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa langkah ini sesuai dengan semangat reformasi pendidikan, yang berfokus pada pengembangan kemampuan praktis dan keterampilan berdasarkan dunia kerja yang semakin kompleks. Namun, di sisi lain, banyak yang mengkhawatirkan bahwa penghapusan skripsi dapat mengurangi kualitas pendidikan tinggi dan mengurangi kedalaman pengetahuan akademis yang dimiliki oleh lulusan.

Kebijakan dari Kemenristekdikti ini, tentu memerlukan aturan yang jelas dan tegas. Tanpa pedoman yang jelas, ada risiko bahwa hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian baik bagi mahasiswa maupun lembaga pendidikan. 

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk menyusun pedoman yang transparan mengenai bagaimana pelaksanaan kebijakan ini akan dilakukan. Aturan yang jelas dan tegas akan membantu memastikan bahwa setiap mahasiswa benar-benar memperoleh pengalaman belajar yang bermutu dan relevan dengan bidang studinya.

Namun, bukan hanya pemerintah yang perlu bertindak. Institusi Pendidikan tinggi juga harus memastikan bahwa standar pembelajaran yang tinggi tetap dijaga. Hilangnya kewajiban menulis skripsi tidak boleh diartikan sebagai pemangkasan kualitas akademis. 

Oleh karena itu, kampus perlu memiliki standar yang jelas mengenai bentuk pengganti dari skripsi. Bisa jadi ini adalah proyek penelitian alternatif, magang di industri terkait, atau bentuk evaluasi lainnya yang dapat memastikan bahwa mahasiswa tetap mendapatkan pencerahan akademis yang memadai.

Penting untuk mengingat bahwa tujuan utama dari pendidikan tinggi adalah menghasilkan lulusan yang berkualitas. Memiliki ilmu pengetahuan dan siap berkarya di tengah Masyarakat. Reformasi dalam pendidikan adalah keniscayaan, tetapi perlu diimbangi dengan kewaspadaan terhadap kemungkinan dampak negatif. 

Penghapusan skripsi (atau hanya sebagai pilihan) bisa jadi langkah yang positif jika diatur dengan baik, tetapi jika tidak dikelola secara cermat, risikonya adalah menghasilkan lulusan yang kurang siap menghadapi kompleksitas tuntutan zaman.

Akhirnya, reformasi skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana boleh jadi sebuah langkah yang signifikan. Namun, langkah ini harus diiringi oleh aturan yang jelas dan standar pembelajaran yang tinggi. Kualitas lulusan adalah investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa.

Oleh karena itu, setiap perubahan dalam sistem pendidikan perlu dipertimbangkan dengan matang demi menjaga kualitas dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. (Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)

Penulis: Bahren Nurdin SS MA

Editor: Khotib Syarbini