Moralitas dalam Kepemimpinan: Bahaya Memilih Pemimpin dengan Latar Belakang Narkoba, Kehidupan Malam, dan Seks Bebas

Moralitas dalam Kepemimpinan: Bahaya Memilih Pemimpin dengan Latar Belakang Narkoba, Kehidupan Malam, dan Seks Bebas

5,237
0

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined offset: 4

Filename: newsmag/detailberita.php

Line Number: 135

Backtrace:

File: /home/jambiin.com/public_html/application/views/newsmag/detailberita.php
Line: 135
Function: _error_handler

File: /home/jambiin.com/public_html/application/libraries/Template.php
Line: 16
Function: view

File: /home/jambiin.com/public_html/application/controllers/Berita.php
Line: 65
Function: load

File: /home/jambiin.com/public_html/index.php
Line: 294
Function: require_once

Oleh: Syaiful Bakri

Penyalahgunaan narkoba telah menjadi pemicu dekadensi moral yang meluas, menyerang jantung nilai-nilai yang seharusnya menjadi pondasi moral bangsa. Ketika seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, ia tak hanya menghancurkan dirinya sendiri tetapi turut menulari lingkungan sekitarnya dengan perilaku destruktif yang berbahaya. Ketergantungan ini melahirkan pribadi yang lepas dari prinsip dan etika, serta membenarkan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan agama, norma, dan aturan hukum yang berlaku. Seseorang yang terjebak dalam narkoba menjadi cenderung mengabaikan konsekuensi tindakannya, bahkan kehilangan empati, rasa malu, dan tanggung jawab.
Ketergantungan pada zat terlarang ini membuat nilai-nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap aturan menjadi seolah-olah usang dan tidak relevan. Perilaku yang muncul dari penyalahgunaan narkoba sering kali bertentangan dengan prinsip moral yang dipegang bersama, memunculkan tindakan-tindakan destruktif seperti kekerasan, pencurian, hingga eksploitasi orang lain demi memenuhi ketergantungan. Akibatnya, terjadi semacam degradasi moral yang meresap ke dalam lapisan-lapisan kehidupan bermasyarakat.
Lebih jauh lagi, rusaknya moral akibat narkoba tidak hanya berhenti pada individu tetapi berkembang menjadi racun sosial yang merusak keluarga, komunitas, bahkan generasi berikutnya. Anak-anak yang hidup di lingkungan dengan pengguna narkoba rentan mengalami disorientasi moral sejak dini, mereka tumbuh dengan kebingungan antara nilai yang baik dan buruk, dan lebih buruknya lagi, mereka berpotensi besar mengulangi kesalahan yang sama. Dalam konteks ini, penyalahgunaan narkoba bukan lagi sekadar masalah kesehatan atau kriminal, tetapi ancaman eksistensial terhadap nilai-nilai budaya, agama, dan norma yang seharusnya dijaga.
Ketika seseorang terperosok dalam dunia narkoba, dia cenderung kehilangan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah, sehingga perilakunya menjadi destruktif, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Penyimpangan ini menjalar hingga ke titik di mana nilai-nilai luhur yang diyakini dalam agama, adat, dan hukum ditinggalkan demi memenuhi kebutuhan yang melumpuhkan jiwa dan akal sehatnya.
Sebagian masyarakat mungkin mempertanyakan mengapa seseorang dengan latar belakang mantan pecandu narkoba berani mencalonkan diri untuk posisi setinggi gubernur? Ini bisa dilihat sebagai bentuk kepercayaan diri yang berlebihan atau ketidakmampuan memahami bahwa jabatan publik memiliki standar moral tertentu yang tak bisa dinegosiasikan. Ada kekhawatiran bahwa kandidat seperti ini bisa memperburuk citra pemerintahan, memberi contoh buruk kepada generasi muda, dan menurunkan standar integritas politik.
Kehadiran calon pemimpin dengan latar belakang yang meragukan bisa menimbulkan dampak negatif yang luas, terutama apabila masyarakat mulai menganggap riwayat moral tidak lagi menjadi faktor penting dalam seleksi pemimpin. Ketika nilai moral dianggap tidak relevan, ini dapat menciptakan atmosfer permisif di mana perilaku yang menyimpang, seperti gaya hidup kehidupan malam dan seks bebas, tidak lagi dipandang sebagai masalah serius. Sebaliknya, perilaku tersebut bisa dianggap sebagai bagian dari kebebasan pribadi atau "hak" seseorang yang seharusnya diterima tanpa penilaian moral. Hal ini menandakan erosi nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi dasar dalam memilih pemimpin, yaitu integritas, akhlak, dan kesadaran terhadap norma sosial yang berlaku.
Jika calon pemimpin yang memiliki riwayat moral yang buruk seperti mantan pecandu narkoba, keterlibatan dalam kehidupan malam dan perilaku seks bebas, diterima dan dipilih oleh masyarakat, maka pesan yang dikirim adalah bahwa nilai-nilai agama dan kearifan lokal mulai dipinggirkan. Kehidupan malam dan seks bebas, yang sering kali bertentangan dengan ajaran agama dan budaya lokal, bisa menjadi normal atau bahkan dianggap sebagai gaya hidup modern yang tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial. Ini adalah bentuk dari penurunan moral yang menciptakan budaya politik yang jauh dari ajaran-ajaran agama dan kearifan lokal yang sudah lama mengakar di dalam masyarakat.
Ketika prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam ajaran agama dan nilai-nilai luhur kearifan local, “adat bersendi syarak syarak bersendi kitabullah” tidak lagi dipandang sebagai standar dalam memilih pemimpin. Masyarakat yang permisif terhadap calon pemimpin yang memiliki latar belakang kelam secara moral akan mulai meruntuhkan fondasi nilai-nilai agama dan adat yang seharusnya menjadi penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berisiko menciptakan krisis moral yang lebih besar, di mana generasi mendatang tumbuh dalam lingkungan yang tidak lagi menghargai kesucian ajaran agama dan kearifan lokal yang seharusnya menjadi pegangan hidup yang mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang penuh kedamaian, kejujuran, dan rasa tanggung jawab.
Permasalahan ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi menjadi isu publik yang melibatkan seluruh masyarakat. dalam konteks politik, pemimpin yang berasal dari latar belakang mantan pecandu narkoba jelas bertentangan dengan nilai moral, agama, dan budaya lokal akan menciptakan kerusakan lebih lanjut, tidak hanya pada diri pribadi, tetapi juga pada institusi pemerintahan itu sendiri. Jika tokoh-tokoh publik tersebut menjadi panutan, maka generasi muda yang melihatnya mungkin akan mulai meragukan relevansi ajaran agama dan adat dalam kehidupan mereka, memilih gaya hidup yang lebih bebas namun tanpa arah seperti kehidupan malam yang hedonistik dan seks bebas yang mengabaikan nilai-nilai kesucian dan tanggung jawab moral dan akhirnya mengabaikan nilai-nilai luhur yang selama ini dijaga oleh masyarakat.
Saatnya kita sadar, bahwa pemimpin yang kita pilih haruslah mencerminkan nilai-nilai luhur kearifan local yang menjaga martabat bangsa, bukan sekadar memenuhi ambisi sesaat. Mari kita teguhkan komitmen untuk memilih pemimpin yang dapat menjadi contoh yang baik, yang menghargai dan menjaga integritas moral, bersih dari narkoba serta mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran. Jangan biarkan masa depan kita dipimpin olehmantan pecandu narkoba yang tidak layak menjadi panutan!. 

(*/Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J))

Penulis: Syaiful Bakri

Editor: Khotib Syarbini