Membangun Daerah Berdasarkan Kesetaraan, Bukan Mayoritas dan Minoritas

Membangun Daerah Berdasarkan Kesetaraan, Bukan Mayoritas dan Minoritas

15,084
0

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M. AP

Pembangunan daerah harus dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan semua lapisan masyarakat, tanpa membedakan apakah mereka berasal dari kelompok mayoritas atau minoritas. Tujuan utama pembangunan yang inklusif dan berkeadilan adalah kesejahteraan bersama, yang tidak hanya mengutamakan kelompok yang lebih besar jumlahnya, melainkan mencakup seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, dalam pembangunan tidak boleh ada diskriminasi atau pengabaian terhadap kelompok mana pun, baik itu mayoritas maupun minoritas.

Pembangunan daerah harus mencakup berbagai aspek—ekonomi, sosial, infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan—yang memberikan manfaat bagi semua warga negara, tanpa terkecuali. Setiap kelompok masyarakat berhak mendapatkan akses yang setara terhadap layanan publik, fasilitas umum, dan kesempatan untuk berkembang. Mengabaikan kelompok minoritas dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan hanya akan menimbulkan ketidakadilan sosial, ketegangan antar kelompok, dan memperburuk kesenjangan yang ada.

Pembangunan yang menghargai keberagaman masyarakat merupakan cerminan dari kemajuan dan kedewasaan berbangsa. Keberagaman seharusnya menjadi dasar untuk menciptakan rasa persatuan, bukan pemisahan. Oleh karena itu, pembangunan fasilitas umum—seperti rumah ibadah, pendidikan, dan pusat kegiatan sosial—harus mengakomodasi kebutuhan semua kelompok, tanpa memperhitungkan besar atau kecilnya kelompok tersebut dalam masyarakat. Pembangunan yang mengutamakan kepentingan bersama akan menciptakan kedamaian, keharmonisan, dan kemakmuran yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Namun, dalam menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, pengakuan terhadap kelompok tertentu harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana. Tujuan pengakuan ini bukan untuk memperburuk perbedaan, tetapi untuk memperkuat persatuan di antara seluruh kelompok masyarakat. Misalnya, pernyataan Calon Wakil Gubernur Jambi, Sudirman, yang menyebutkan bahwa Suku Anak Dalam (SAD) adalah kelompok minoritas yang bisa dibanggakan, meskipun niatnya mungkin untuk memberi penghargaan, berisiko menciptakan sekat antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa Suku Anak Dalam dihargai hanya karena status mereka sebagai "minoritas," bukan karena mereka adalah bagian integral dari masyarakat Jambi yang setara dengan kelompok lainnya. Pembangunan daerah seharusnya tidak mempertegas perbedaan status sosial atau kelompok etnis, melainkan berfokus pada pemerataan hak dan kesempatan bagi semua warga negara. Jika perhatian pembangunan terlalu difokuskan pada pengakuan terhadap kelompok minoritas saja, maka ini dapat menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang justru memperburuk kondisi sosial.

Pernyataan tersebut juga bisa dianggap sebagai pengalihan perhatian dari isu-isu yang lebih mendasar, seperti kesetaraan dan kesejahteraan bagi seluruh kelompok masyarakat. Bukannya memberikan perhatian pada hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh semua kelompok, pernyataan ini berpotensi memperlebar jurang perbedaan, meningkatkan ketegangan sosial, dan mendorong narasi yang menempatkan kelompok minoritas hanya sebagai objek penghargaan, bukannya sebagai subjek yang berhak mendapatkan hak dan kesempatan yang setara.

Dalam konteks ini, pernyataan tersebut dapat menjadi hambatan dalam menciptakan pembangunan yang sejati, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan hak yang setara bagi semua lapisan masyarakat, tanpa membedakan status kelompok. Jika pengakuan terhadap kelompok minoritas dilakukan tanpa disertai upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, maka ini dapat memperkuat stereotip dan memperburuk ketimpangan sosial serta ekonomi.

Selain itu, pernyataan tersebut dapat mempertegas pembagian antara "minoritas yang dihargai" dan "mayoritas yang dianggap lebih dominan," yang pada gilirannya dapat menambah ketegangan antar kelompok masyarakat. Pembagian yang berlebihan ini tidak hanya mempengaruhi pembangunan fisik, tetapi juga dapat menghambat integrasi sosial yang lebih harmonis. Sebaliknya, pembangunan yang inklusif harus memandang semua kelompok baik mayoritas maupun minoritas sebagai bagian dari suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

Penting untuk diingat bahwa dalam masyarakat yang adil, pembangunan tidak seharusnya didasarkan pada status mayoritas atau minoritas, melainkan pada kemampuan untuk memberikan kesempatan yang setara bagi semua warga negara untuk berkembang. Dengan memandang pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, tanpa terikat oleh batasan etnis, agama, atau kelompok tertentu, setiap individu terlepas dari latar belakang mereka dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang inklusif, yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama. 

Untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, penting untuk menghindari pemisahan yang didasarkan pada status mayoritas atau minoritas. Jika pembangunan lebih menekankan pembagian antara mayoritas dan minoritas, maka upaya pembangunan akan terjebak dalam pandangan sempit dan terbatas. Untuk mencapai kemajuan yang sejati, setiap elemen masyarakat harus dianggap penting dan berperan. Oleh karena itu, kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mengakui keberadaan kelompok minoritas, tetapi juga memahami bahwa setiap kelompok, tanpa memandang status mereka, memiliki hak yang sama untuk menikmati hasil pembangunan. Pemimpin yang mengedepankan kesetaraan hak dan kesempatan akan lebih mampu membawa Jambi menuju masa depan yang lebih sejahtera dan harmonis. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya memandang perbedaan sebagai pemisah, tetapi sebagai potensi yang memperkaya kemajuan bersama.

(*/Akademisi UIN STS Jambi)

Penulis: Yulfi Alfikri Noer

Editor: Khotib Syarbini